Sunnatullah dan Manusia sebagai Khalifah di Bumi
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahirabbil ‘Alamin puji syukur saya panjatkkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan Rahmat-Nya lah tulisan sederhana ini bisa terselesaikan. Sholawat serta salam tak lupa tercurahkan kepada junjungan alam Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman islamiyah.
Ditulisan kali ini kita akan membahas mengenai Sunnatullah dan Manusia sebagai Khalifah di Bumi. Kita langsung saja ke pembahasaan yang pertama yakni sunnatullah. Apa itu sunnatullah? Mari baca dengan seksama ulasan tulisan berikut ini. Sunnatullah merupakan ketentuan dan hukum Allah yang telah ditetapkan-Nya sehingga kemudian membuat berbagai keserasian, kerapian dan keteraturan. Sunnatullah juga dapat diartikan sebagaisuatu hal kebenaran yang tidak bisa dibuktikan.
Keserasian, kerapian dan keteraturan yag dapat dilihat di alam semesta ini pada dua kenyataan. Pertama, berupa keteraturan, kerapian, dan keserasian dalam hubungan alamiah antara bagian-bagian didalamnya dengan pola saling melengkapi dan mendukung. Perhatikan misalnya, apa yang diberikan matahari untuk kehidupan alam semesta. Selain befungsi sebagai penerang diwaktu siang, matahari juga berfungsi sebagai slah satu sumber energi bagi kehidupan. Dari pancaran dan gerakedarnya yang bekerja menurut ketentuan Allah SWT. manusia dapat menikmati pertukaran musim, perbedaan suhu antara satu wilayah dengan wilayah lain. Semua keteraturan dan ketentuana yang disebabkan sistem kerja matahari itu, pada [erkembangnya kemudian membentuk sistem keteraturan dan ketentuan lain yang telah ditetapkan oleh Allah. Ingatlah, misalnya iklim suatu daerah yang berpengaruh pada keanekaan potensi alam, jenis flora dan fauna yang tumbuh dan ada didaerah itu. Kedua, keteraturan yang ditugaskan kepada Malaikat untuk menjaga dan melaksanakannya.
Dalam lingkup yang lain, bisa pula dilihat bagaimana Sunnatullah berlaku pada benda atau makhluk lain yang, sepintas lalu, dianggap tidak berguna, namun ternyata bermanfaat dan mempengaruhi benda atau makhluk lain. Bisa dilihat bagaimana tumbuh-tumbuhan yang membusuk atau kotoran hewan yang memiliki Sunnatullah pada dirinya berguna sebagai pupuk untuk menumbuhsuburkan tanaman.
Demikianlah kekuasaan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya yang menyebabkan masing-masing bagian alam ini berada dalam ketentuan yang teratur rapi, hidup dalam suatu sistem hubungan sebab akibat, sampai ke benda yang sekecil apapun, ketentuan Allah ada dan berlaku, baik secara mikrokosmetik (berlaku terbatas pada zat benda kecil itu) maupun dalam skala makrokosmetik (sistem yang menyeluruh) suatu benda atau zat membentuk Sunnatullah baru melalui jalinan hubungan yang dibentuknya.
Ada tiga sifat utama Sunnatullah yang disinggung dalam al-Qur’an yang dapat ditemukan oleh ahli ilmu pengetahuan dalam penelitian. Ketiga sifat itu adalah 1) pasti; 2) tetap; 3) objektif.
Sifat Sunnatullah yang pertama adalah pasti atau tentu disebut pada ujung ayat 2 al-Qur’an surat 25 (al-Furqan) yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut, ...”Dia telah menciptakan sesuatu, dan Dia (pula yang) memastikan (menentukan) ukurannya dengan samgat rapi.” dipenghujung ayat 3 surat 65 (at-Talaq) Allah berfirman, yang artinya ...”Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan (kepastian) bagi tiap sesuatu”.
Sifat Sunnatullah yang pasti, tentu itu menjamin dan memberi kemudahan kepada manusia membuat rencana. Seseoarang yang memanfaatkan Sunnatullah dalam merencanakan satu pekerjaan besar, tidak perlu ragu akan ketepatan perhitungannya. Jika dalam pelaksanaan suatu rencana atau pekerjaan ternyata orang itu kurang atau tidak berhasil, dapat dipastikan perhitungannyalah yang salah bukan kepastian atau ketentuan yang terdapat dalamm Sunnatullah.
Kenyataan tersebut diatas didukung oleh sifat Sunnatullah kedua yaitu tetap, tidak berubah-ubah. Sifat itu terdapat dalam bagian ayat 115 surat al-An’am (6) yang terjemahannya sebagai berikut, ...”Tidak ada yang sanggup mengubah kalimat-kalimat Allah”. Dalam bagian ayat 77 surat al-Isra’ (17) Allah menyatakan sebagai berikut ...”Dan engaku tidak akan menemui perubahan dalam Sunnah Kami...” sifat itu selalu terbukti dalam praktik, sehingga seorang perencana dapat menghindarkan kerugian yang mungkin terjadi kalau suatu rencana dilaksanakan dengan sifat Sunnatullah yang tidak berubah-ubah itu, seorang ilmuwan dapat memperkirakan gejala alam yang akan terjadi dan memanfaatkan gejala alam itu. Seorang ilmuwan , karena itu, dengan mudah memahami gejala alam yang satu dikaitkan dengan gejala alam lain yang senantiasa mempunyai hubungan yang konsisten (taat asas).
Sifat Sunnatullah yang ketiga adalah ojektif. Sifat ini tergambar pada firman Tuhan dalam bagian ayat 105 surat al-Anbiya (21). Disebutkan ...”Bahwasanya dunia ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh”. Saleh artinya baik atau benar. Orang yang baik dan benar adalah orang yang bekerja menurut Sunnatullah yang menjadi ukuran kebaikan dan kebenaran itu.
Contoh ekstrem berikut dapat menjelaskan apa yang dikemukakan diatas. Disuatu padang yang luas tanpa ada bangunan atau pepohonan lain, terdapat dua menara yang menjulang sama tingginya. Satu adalah menara masjid dan yang satu lagi menara casino (tempat bermain judi) dengan papan iklan minuman memabukkan diatasnya. Menara masjid itu tidak memakai penangkal petir kareena pertimbangan bahwa masjid adalah bangunan untuk mendirikan sholat dan menaranya dipergunakan untuk memanggil orang mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah. Menara casino dengan iklan minuman harak diatasnya, memakai penangkal petir memenuhi Sunnatullah. Kalau hujan datang dengan petir sambung-menyambung, yang kena sambar lebih dahulu adalah menara masjid yang tidak berpenangkal petir, tidak mengikuti Sunnatullah. Dari uraian singkat ini jelas bahwa Sunnatullah itu objektif tanpa pilih kasih. Apa atau siapa saja yang tidak mengikutinya, bahkan melanggar Sunnatullah mendapat hukuman. Apapun alasan pelanggaran itu, termasuk kebodohan dan kealpaan didalamnya.
Pembahasan yang kedua ialah mengenai Manusia sebagai Khalifah di Bumi. Khalifah dalam arti harfiahnya adalah pengganti atau wakil. Menurut ajaran islam, manusia, selain sebagai abdi diberi kedudukan sebagai Khalifah mengelola dan memanfaatkan alam semesta terutama ‘mengurus’ bumi ini. Pengelolaan dan pemanfaatan alam semesta beserta semua isinya dipercayakan Allah kepada manusia yang merupakan bagian alam semesta itu sendiri. Manusia yang diberi “wewenang” mengelola dan memanfaatkan alam semesta diberi kedudukan “istimewa” sebagai khalifah. dalam surat al-Baqarah (2) ayat 30 dinyatakan bahwa Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifah-Nya di bumi. Agar dapat menjalankan kedudukannya itu, manusia diberi bekal berupa potensi diantaranya adalah akal yang melahirkan berbagai ilmu sebagai alat untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta serta mengurus bumi ini. Ketika Adam sebagai manusia diangkat menjadi khalifah di bumi, Allah mengajarkan kepadanya ilmu pengetahuan tentang “nama-nama (benda).” dalam bagian pertama ayat 31 surat al-Baqarah (2) Allah menyatakan, “Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya ....” Pengetahuan yang diajarkan Allah kepada Adam ini merupakan kenunggulan komperatif manusia dari makhluk-makhluk lainnya.
Dengan akal dan ilmu serta kalbu manusia bisa menjalankan tugasnya menjadi khalifah di bumi. Kedudukannya menjadi khalifah di bumi akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak. Manusia akan ditanya apakah dalam menjalankan ‘amanat’ yang dipercayakan kepadanya itu, mengikuti dan mematuhi pola dan garis-garis besar kebijaksanaan yang diberikan kepadanya melalui para Nabi dan Rasul yang termuat dalam ajaran agama.
Alam semesta dan dan bumi dengan segala isinya telah diserahkan Allah kepada manusia sebagai amanah (keprcayaan) untuk dikelola, karena hanya manusialah yang diserahi dan berani bertanggung jawab memegang amanah Allah (QS. Al-Ahzab (33): 72). Menurut Bintu Syati nama samaran Profesor Aisyah Abdurrahman, (pakar tafsir dan pengajar di Universitas Ayn Syams Kairo, dan qurawiyyin Maroko sebagaimana dikutip Ensiklopedi Islam (1993, III:164), perkataan al-amanah dalam ayat diatas lebih tepat diartikan “ujian yang mengiringi suatu tugas, kemerdekaan berkehendak dan bertanggungjawab mengenai pilihan.” Semua makhluk, kecuali manusia, hidup dan menjalani kehidupannya menurut Sunnatullah tanpa diberi amanah dan tanpa dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dilakukannya. Namun manusia sebagai khalifah, bertanggungjawab atas segala perbuatannya yang dinilai dengan pahala dan dosa. Tanggungjawab ini bersifat pribadi, tidak dapat dibebankan kepada orang lain atau diwariskan. Amanah seperti ini tidak diberikan khusus kepada orang-orang beriman (mukmin) saja, tetapi juga kepada yang tak beriman (kepada Allah) yang disebut nonmukmin karena asal nya sama yakni manusia, memegang amanah dan tanggungjawab yang sama. Apabila tugas tersebut dilaksanakan dengan iman dan amal saleh menurut Sunnatullah dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan-Nya, jadilah manusia menjadi makhluk ciptaan Tuhan yang mulia dan sempurna. Tetapi jika sebaliknya maka itu yang membuat atau merosotkan derajat manusia menjadi makhluk yang hina (didepan pemberi amanah itu).
Semoga tulisan sederhana dan masih penuh kekurangan ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua ya. Kurang lebihnya saya mohon maaf.
Wallahu A’lamu Bissawab
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Sumber Referensi:
Ali, Muhammad Daud: Pendidikan Agama Islam, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2006.
Komentar
Posting Komentar